Kunjungan pertamaku di Bali adalah cap materai untuk
meneguhkan diriku yang akan mengambil S1 disana. Crazy right? Apalagi ini
adalah pertama kalinya aku keluar dari kota tercintaku, Kendari, untuk menetap
di kota lain.
Untuk tiba ke Bali saja penuh perjuangan. Memang sih alat
transportasinya pesawat, tapi kalau ganti pesawatnya sampai dua kali, musti
mutar dulu ke Surabaya, bahkan ngabisin waktu kurang lebih sepuluh jam di
perjalanan! Gimana gak pusing?
Apalagi bandara Bali itu besar banget. Akibatnya aku harus
‘membawa jalan-jalan’ tuh koper keliling bandara Ngurahrai. Itu baru dalam
gedungnya, belum tempat parkirnya. Rasa-rasanya betisku mau minggat saking
pegalnya -__-
Lalu esok harinya gue langsung cabut menuju Universitas
Udayana. Tepatnya sih tempat registrasinya, di Bukit. Ternyata oh ternyata,
rumit banget registrasinya.
Masuk loket inilah, loket itulah, ngantri lah, dan ternyata
setelah perjalanan panjang –yang sepertinya dirancang memegalkan kaki –
ternyata aku harus pulang dengan tangan hampa. Pasalnya, untuk melanjutkan ke
loket berikutnya aku harus bawa pas foto. Belum lagi dengan fotokopi
bermacam-macam arsip. Pulanglah aku dengan kekecewaan yang terpendam.
Besoknya dengan semangat membara, aku kembali melanjutkan
registrasi yang tertunda. Coba tebak apa yang terjadi? Ditolak lagi….
Alasannya cuma karena sepatuku tidak menutupi jari kaki.
Tapi inilah masalah kegalauanku selama berhari-hari dimulai.
Kisahnya, karena sepatuku tak memenuhi syarat aku minjam
dari salah satu teman bundaku. Meskipun dia adalah dosen, gayanya memang agak
nyetrik. Gara-gara itu aku berakhir memakai sepatu boot berhak sedang. Jujur
saja sepatu itu akan sangat keren jika aku pakainya bukan saat itu.
Saat dimana aku harus melewati para senior untuk melakukan pengecekan
berkas. Aargh! Harusnya aku sadar kalau sepatu itu bakal menarik perhatian.
Buktinya? Seorang senior yang rela menyempatkan waktunya untuk mengomentari
sepatu itu.
Sebenarnya ini kejadian biasa, ya biasa jika saja aku tidak
berbalik dan membalas dengan tersenyum penuh percaya diri, dan tentu saja
balasan dari senyum itu adalah teriakan heboh para senior. Lalu dengan
santainya gue melenggang pergi, padahal dalam hati gue udah jungkir balik panik
dengan ulah gilaku sendiri.
Mulai dari situ hayalan gilaku di mulai. Aku mulai bayangin
gimana kalau senyuman itu dianggap menantang senior? Terus aku di bully,
dijadikan pesuruh, dkk-lah….
Oh my… mudah-mudahan tuh senior-senior lupa dengan wajahku.
Atau setidaknya ada murid lain yang membuat kehebohan yang lebih parah…. T__T
Setelah itu perjalanan belum selesai. Aku harus mengurus
tempat kos –yang betul-betul menguras tenaga saking langkanya - , mengumpulkan
kostum yang akan dipakai saat OSPEK nanti, pokoknya macam-macamlah.
And finaly, semua hal telah selesai. Dan disinilah aku,
duduk di sebuah kursi menulis kisah pertamaku di Bali sambil menikmati hamparan
pemandangan suasana Kendari *lebay mode: on*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar